Beranda | Artikel
Sejarah Imam asy-Syafii
Minggu, 6 Maret 2022

SEJARAH IMAM ASY-SYAFI’I

Segala puji hanya untuk Allah Ta’ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam beserta keluarga dan seluruh sahabatnya. Ketokohan profil ini tidak diragukan lagi. Ia sangat meyakinkan, reputasinya tak perlu dipertanyakan. Banyak ayat Al-Qur`an yang membicarakan keutamaan beliau, baik secara pribadi maupun dalam konteks umum.

Berikut ini adalah rangkain kisah perjalanan hidup seorang pahlawan dari pahlwan-pahlawan umat ini, yang gagah berani, seorang imam dari imam kaum muslimin, Allah Shubhanahu wa ta’alla menjadikan dirinya sebagai pembela sunah dan penumpas perbuatan bid’ah.

Beliau lahir di Gazza yaitu sebuah kota yang letaknya berada ditengah-tengah negeri Syam dari arah Mesir dan selatan Palestina, pada tahun 150 H tepatnya pada bulan Rajab. Dirinya terkenal dengan kecerdasan dan kekuatan hafalannya semenjak kecil. Beliau menceritakan tentang dirinya, “Aku berada bersama para pencatat kitab, disana aku mendengar ustad sedang mengajari ayat al-Qur’an pada anak-anak kecil, maka aku langsung dapat menghafalnya. Dan sebelum ustad tadi selesai mendikte ayat pada mereka aku telah menghafal semua yang di diktekan tadi. Pada suatu hari beliau berkata padaku, “Tidak halal bagiku untuk menghalangimu sedikitpun”. Dan dia senantiasa dalam keadaan seperti itu sampai dirinya mampu menghafal al-Qur’an sedang beliau saat itu berusia tujuh tahun.

Besar dalam kondisi yatim dan diasuh oleh ibunya seorang, lalu ibunya khawatir pada dirinya, lantas mengajaknya berhijrah ke Makah dan disana dia belajara bahasa Arab dan syair. Kemudian Allah Shubhanahu wa ta’alla menjadikan kecintaan dirinya pada ilmu fikih yang sedikit diabaikan oleh kebanyakan orang pada zamannya, beliau lalu menulis beberapa karya tulis besar dalam beberapa disiplin ilmu, seperti fikih, ushul fikih, nasab dan adab serta karya tulisan lainnya.

Beliaulah Imam dunia yang bernama Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin Utsman bin Saafi’ bin as-Saa’ib bin Ubaid bin Abd bin Yazid bin Hasyim bin al-Muthalib bin Abdi Manaf. Ahli ilmu pada zamannya, pembela sunah, ahli fikih umat ini yang berkun’yah Abu Abdillah al-Quraisy kemudian al-Muthalabi asy-Syafi’i al-Makki al-Ghazi sebagai tanah kelahirannya, beliau masih memiliki hubungan nasab bersama Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang bertemu dalam silsilah pada anak pamannya, karena al-Muthalib adalah saudaranya Hasyim ayah dari Abdul Muthalib. Beliau mempunyai warna kulit putih, berbadan tinggi, dengan paras wajah yang gagah, dan di segani, beliau memakai semir dengan pohon pacar karena ingin menyelisihi orang-orang Syi’ah.

Perkataan Ulama Tentang Imam asy-Syafi’i.
Telah banyak pujian dari para ulama dengan pujian yang banyak, berkata Imam Ahmad bin Hanbal tentang beliau, “Tidak ada seorangpun yang memegang alat tulis tidak pula pena melainkan bagi pundak Syafi’i mempunyai bagian darinya. Kalaulah bukan karena Syafi’i tentulah kami tidak mengetahui fikih hadits. Adalah ilmu fikih seperti terkunci bagi ahlinya sampai kiranya Allah Shubhanahu wa ta’alla membukakan melalui Syafi’i”.

Beliau juga pernah menuturkan manakala ditanya putranya tentang Syafi’i, “Duhai ayahku, seperti apa sejatinya Syafi’i itu? Betapa sering aku mendengar engkau mendo’akan dirinya”. Imam Ahmad menjawab, “Duhai anakku, Syafi’i itu bagaikan matahari bagi dunia, bagaikan obat bagi tubuh, lihatlah apakah dua kemulian ini ada yang mampu mewarisi atau menggantikan kedudukannya”.

Dan Ahmad bin Hanbal biasa mendo’kan Syafi’i dalam sholatnya selama kurang lebih empat puluh tahun. Dan beliau berkata ketika mendengar sebuah hadits, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « إِنَّ اللهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا » [أخرجه أبو داود]

Sesungguhnya Allah mengutus bagi umat ini pada setiap penghujung seratus tahun seseorang yang akan memperbaharui agamanya“. HR Abu Dawud no: 4291.

Beliau mengatakan, “Maka Umar bin Abdul Aziz adalah pembaharu pada penghujung seratus tahun pertama, dan asy-Syafi’i pada penghujung tahun dua ratusan”.[1]

Abdurahman bin Mahdi menyebutkan tentang beliau, “Tatkala aku membaca kitab Risalah karyanya Syafi’i, kitab tersebut membikin diriku bingung, karena aku melihat didalamnya perkataan seorang yang jenius, fasih dan tulus. Sesungguhnya saya banyak mendo’akan beliau. Dan aku berpendapat bahwa Allah ta’ala belum menciptakan (lagi) orang yang seperti beliau”.

Daud bin Ali adh-Dhahiri mengatakan didalam kitabnya yang mengumpulkan manakibnya Imam Syafi’i, “Bagi Imam Syafi’I, beliau banyak sekali mempunyai keutamaan yang tidak dijumpai pada ulama yang lain. Mulai dari garis nasabnya yang mulia, kebenaran agama dan aqidahnya serta kedermawanan jiwanya, pengetahuan dirinya tentang ilmu hadits baik yang shahih maupun lemah, nasikh maupun mansukh, hafalannya pada al-Qur’an dan sunah, serta sejarahnya para khulafa, bagus dalam membuat karya tulis, kebaikan pada teman dan murid yang dimilikinya, Seperti Ahmad bin Hanbal, didalam sikap zuhud dan wara’nya serta keistiqomahanya didalam menekuini sunah”.

Diantara Perkataan beliau:
Imam Syafi’i pernah menuturkan, “Ilmu ada dua macam, ilmu agama yaitu ilmu fikih, dan ilmu dunia yaitu ilmu kedokteran. Adapun selain keduanya dari ilmu syair dan selainya maka itu kesia-sian dan sesuatu yang tidak berguna. Lalu beliau melantunkan bait syair:

Setiap ilmu selain al-Qur’an adalah kesibukan
Kecuali hadits dan ilmu fikih dalam agama
Ilmu itu adalah yang dikatakan telah menyampai pada kami
Selain dari pada itu adalah was-was setan

Beliau pernah ditanya, “Bagaimana nafsumu terhadap ilmu? Beliau menjawab, “Aku mendengar perhuruf dari sesuatu yang belum pernah aku dengar. Kecintaan pada anggota tubuhku kalau seandainya mereka punya pendengaran sehingga merasakan nikmat seperti kenikmatan yang dirasakan oleh kedua telingaku”. Lalu beliau ditanya, “Lantas bagaimana dengan semangatmu? Beliau menjawab, “Semangatnya orang pelit yang berusaha mengumpulkan harta didalam usahanya demi memperoleh harta yang diinginkan”. Kemudian beliau ditanya kembali, “Lalu bagaimana dengan pencarianmu pada ilmu? Beliau berkata, “Seperti pencariannya seorang ibu yang kehilangan anak semata wayang miliknya”. Imam Syafi’i menuturkan dalam bait syairnya:

Aku akan arungi jauhnya negeri nan luas
Demi tercapai keinginanku atau aku mati terasing
Bila diriku mati maka Allah lah yang akan mengganti tempat tinggalku
Dan bila aku selamat maka pulangnya aku untuk menemui keluarga

Beliau juga pernah mengatakan, “Membaca hadits itu lebih baik dari pada mengerjakan sholat sunah. Dan menuntut ilmu itu lebih utama dari pada mengerjakan sholat sunah”. Diantara pesan beliau ialah, “Barangsiapa mempelajari al-Qur’an, mulia kedudukannya, barangsiapa berbicara tentang fikih, akan tumbuh kemampuannya, barangsiapa menulis hadits, kuat argumennya, barangsiapa melirik ilmu bahasa, tabiatnya akan lunak, dan barangsiapa memperhatikan ilmu hisab, akan melimpah pendapatnya, dan bagi siapa yang tidak menjaga dirinya, maka tidak bermanfaat ilmu yang dimilikinya”.

Beliau menuturkan, “Aku berharap kalau seandainya manusia mempelajari ilmu ini, kemudian tidak ada sedikitpun yang dinasabkan pada diriku, aku masuk didalamnya namun manusia tidak memujiku”. Beliau juga mewanti-wanti pada pengikutnya dengan berkata, “Apabila engkau jumpai ada hadits shahih maka itulah madzhabku. Dan apabila ada hadits shahih maka lemparlah pendapatku ke tembok”.

Imam Syafi’i adalah seorang ahli ibadah serta zuhud pada dunia, dikatakan oleh Rabi bin Sulaiman, “Adalah Imam Syafi’i mencukupkan malamnya, sepertiga untuk menulis, sepertiganya lagi untuk sholat, dan sepertiga yang terakhir untuk digunakan tidur. Dan beliau biasa menghatamkan al-Qur’an pada bulan ramadhan sebanyak enam puluh kali. Dan pada setiap bulanya sebanyak tiga puluh kali”.

Diantara ucapan agung beliau ialah, “Ilmu itu adalah yang bermanfaat bukanlah ilmu itu yang hanya sekedar dihafal”. Beliau juga mengatakan, “Belum pernah aku merasakan kenyang semenjak sepuluh tahun yang lalu kecuali sekali, itupun aku muntahkan dengan cara memasukan jari kedalam tenggorokan. Karena rasa kenyang membikin badan menjadi malas dan membuat hati keras, serta menghilangkan kecerdasan, membawa rasa kantuk dan membuat malas beribadah”.

Beliau juga pernah menuturkan, “Tidaklah sempurna seseorang melainkan dengan empat perkara, agama, amanah, penjagaan, dan keteguhan”. Diantara perkataan beliau, “Orang yang berakal ialah yang mengekang akalnya dari semua perkara yang tercela”. “Orang yang tidak mulai dengan ketakwaannya maka tidak ada kemulian bagi dirinya”. “Aku tidak merasa takut pada kefakiran sedikitpun, orang yang berlebihan mencari dunia adalah siksa Allah Shubhanahu wa ta’alla yang ditimpkan padanya ahli tauhid”.

Ditanyakan pada beliau, “Kenapa seringkali engkau memegang tongkat, bukankah kamu masih sehat? Beliau menjawab, “Supaya mengingatkan diriku kalau sedang bepergian”. Beliau menuturkan, “Barangsiapa enggan meninggalkan syahwat maka dirinya tidak akan terpisah dari menyembah dunia”. Beliau berkata, “Kebaikan ada di lima perkara, kaya hati, tidak menganggu orang lain, usaha halal, bertakwa, dan percaya kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla“. “Jauhilah perbuatan maksiat, dan meninggalkan perkara yang tidak berguna niscaya itu akan menyebabkan hatimu bersinar, biasakanlah dirimu menyendiri dan jangan banyak makan, dan hati-hatilah bergaul dengan orang bodoh dan orang yang enggan melayanimu”.

Imam Syafi’i juga pernah menuturkan, “Apabila engkau berbicara pada perkara yang tidak berguna niscaya ucapanmu akan menguasaimu bukan kamu yang menguasainya”. “Rukun muru’ah itu ada empat perkara, akhlak mulia, dermawan, rendah diri dan giat beribadah”. “Rendah diri termasuk akhlak mulia, sedang sombong maka termasuk kebiasaan yang rendah, rendah diri melahirkan kecintaan, dan merasa cukup melahirkan ketenangan jiwa”.

Beliau mengatakan, “Jika engkau merasa khawatir amalanmu terkotori dengan rasa ujub, ingatlah keridhoan siapa yang sedang engkau cari, nikmat seperti apa yang engkau inginkan, dan adzab siapa yang engkau lari darinya. Maka barangsiapa yang memikirkan hal tersebut, akan terasa rendah amalan yang ia kerjakan”. Senjata menjadi pemimpin ada lima, jujur dalam berkata, menyembunyikan rahasia, memenuhi janji, mulai memberi nasehat dan menunaikan amanah.

Beliau juga mengatakan, “Kedudukan orang yang tertinggi ialah orang yang tidak melihat pada kedudukan tersebut, dan orang yang paling banyak memiliki keutamaan adalah yang tidak melirik pada keutamaan”. Perkataan dan wejangan beliau diatas tadi menunjukan akan kesempurnaan akal pikiran serta kefasihan beliau. Dimana para ulama memasukkan Imam Syafi’i dalam barisan orang-orang yang berotak jenius. Imam Dzahabi menjelaskan, “Demi Allah Tidaklah tercela bagi kami, untuk mencintai Imam ini. karena beliau termasuk ulama yang sempurna keilmuannya yang ada pada zamannya”.

Semoga Allah merahmati Imam Syafi’i, dimanakah ada orang yang seperti beliau dari sisi kejujuran, kemulian, kehormatan, keluasan ilmu, kecerdasan, pembelaan terhadap kebenaran, dan keutamaan yang begitu banyak. Rabi bin Sulaiman mengatakan, “Kalau seandainya kepandaian Imam Syafi’i dibandingkan dengan setengah dari akal penduduk bumi niscaya akal beliau lebih baik. Kalau sekiranya dari Bani Israil tentulah mereka akan membutuhkannya”. Beliau adalah orang yang sangat dermawan yang tidak ada bandingannya, walaupun kebanyakan hidup yang beliau jalani selalu ditemani dengan kefakiran. Apabila beliau mendapat harta, beliau langsung menginfakkanya, mensedekahkan pada orang-orang fakir dan yang membutuhkan.

Al-Humaidi mengkisahkan tentang beliau, “Imam Syafi’i pernah suatu kali datang ke Yaman dan bersama beliau ada dua puluh dinar. Kemudian beliau mendirikan kemah diluar Makah dan belum sampai sempurna kemahnya berdiri beliau telah mensedekahkan uang itu semuanya”. Abu Tsaur salah seorang sahabatnya mengkisahkan, “Syafi’i pernah punya keinginan pergi ke Makah dan bersama beliau ada sedikit uang. Aku katakan padanya, “Kalau sekiranya anda membeli dengan uang tersebut sedikit ladang untuk anakmu”.

Dan beliau sangat jarang sekali memegang uang disebabkan kedermawananya. Beliau kemudian pergi dan pulang, maka aku tanyakan padanya, dan beliau menjawab, “Aku tidak menjumpai di Makah ada ladang yang memungkinkan bagiku untuk membelinya, akan tetapi, aku membangun di Mina kemah yang bisa digunakan bagi saudara kita apabila berangkat haji sehingga mereka bisa bertempat disana”. Abu Tsaur mengomentarai, “Sungguh diriku menjadi paham, sehingga akupun ingin melakukannya”. Lalu beliau melantunkan bait syair:

Apabila pagi menyapa diriku masih bisa makan
Biarkanlah keinginan pergi dariku duhai Sa’id
Jangan khawatir akan masa depan yang datang
Sesungguhnya hari esok masih menyisakan rizki baru

Kematian beliau:       
Al-Muzni mengkisahkan tentangnya, “Aku berkunjung pada Imam Syafi’i saat beliau sedang sakit yang mengantarkan pada kematiannya, aku tanyakan padanya, “Wahai Abu Abdillah, bagaimana kabarmu? Beliau mengangkat kepala lalu berkata, “Kabarku yang akan segara meninggalkan dunia, dan berpisah dengan para sahabatku, bertemu dengan amal jelek yang aku perbuat, dan kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla aku akan kembali. Sedang diriku tidak tahu kemana ruhku dibawa, apakah kesurga maka ku ucapkan selamat padanya atau ke nereka maka aku pun bersedih dengannya”. Kemudian beliau menangis tersedu-sedu, lalu berkata dalam bait syair:

Tatkala hatiku keras dan terasa sempit keyakinanku
Aku jadikan rasa harap pada Allah sebagai tanggaku
Betapa besar dosa yang ku perbuat, namun ketika aku bandingkan
Dengan ampunan Rabbku, sungguh ampunanNya lebih besar
Senantiasa Engkau Maha Pengampun atas segala dosa
Penyayang lagi mengampuni, menganugerahi serta memuliakan

Beliau meninggal di Mesir, tepatnya pada hari kamis, ada yang mengatakan, hari jum’at pada akhir bulan Rajab tahun 204 H, dengan usia lima puluh empat tahun. Begitu mulia kedudukannya dan semoga surga sebagai tempat kembalinya.

Berkata Rabi bin Sulaiman, “Aku melihat Imam Syafi’i setelah kematian beliau dalam mimpiku, aku pun bertanya padanya, “Wahai Abu Abdillah, apa yang diperbuat Allah Shubhanahu wa ta’alla denganmu? Dia menjawab, “Mendudukan diriku diatas kursi yang terbuat dari emas dan menaburkan disekelilingku permata yang halus”.[2] Semoga Allah Shubhanahu wa ta’alla merahmati Imam Syafi’i, dan membalas atas jasanya terhadap Islam dan kaum muslimin dengan sebaik-baik balasan, serta menempatkan diri derajat yang tinggi.

Akhirnya kita ucapkan segala puji bagi Allah Shubhanahu wa ta’alla Rabb semesta alam. Shalawat serta salam semoga Allah Shubhanahu wa ta’alla curahkan kepada Nabi kita Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, kepada keluarga beliau serta para sahabatnya.

[Disalin dari مواقف مؤثرة من سيرة الإمام الشافعي Penulis Dr. Amin bin Abdullah asy-Syaqawi, Penerjemah Abu Umamah Arif Hidayatullah, Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad. Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah. IslamHouse.com 2014 – 1435]
______
Footnote
[1] Bidayah wa Nihayah 14/135.
[2] Siyar a’lamu Nubala 10/5-99. Bidayah wa Nihayah, Ibnu Katsir 14/132-140.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/52524-sejarah-imam-asy-syafii-2.html